Senin, 14 April 2008

IKAN BILIH SEMALAM

Tidak terasa aku dapatkan lagi kesempatan untuk melanjutkan upaya penjelajahanku akan nusantara, dan aku memang bertekad untuk memulai langkah awal dari Sumatera barat, tempat mengayuh studi sekaligus menuai pengalaman hidup. Satu hal yang selalu membuatku merasa beruntung menjadi mahasiswa perantauan.

Kali ini aku berkesempatan mengunjungi seorang akhwat di daerah Singkarak. Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu mengenalnya, hanya mengenal lewat imajinasi dari tuturan cerita temanku satu kost serta sms-smsnya, dan kunjungan ini diawali oleh perkara teman sekostku itu. Namun aku tidak akan menceritakannya, karena ini bukan kisah tentang temanku tetapi ini adalah kisahku.

Perjalanan ke Singkarak memakan waktu kurang lebih dua setengah jam, namun dalam kondisi puasa jarak waktu seperti itu apalagi untuk perjalanan darat cukup sukses untuk membuat letih badan. Namun keletihanku agak sedikit terobati begitu tiba di kota Solok. Berkendara bendi atau delman aku menyusuri kota menuju pasar yang merupakan pusat kota, tampak dari sudut ke sudut kesibukan masyarakat menghadapi saat berbuka puasa sore nanti. Dari terminal dilanjutkan dengan menaiki kendaraan umum sejenis mikrolet dengan tujuan desa Singkarak.

Dalam perjalanan pemandangan mataku tertumbuk pada sisi jalan, tampak disana pemandangan yang tidak asing, sebuah bangunan pesantren yang sudah roboh plus satu sekolah darurat setengah berdiri, didirikan oleh LSM yg mengusung slogan “Keadilan Untuk Ummat”. Aku teringat pernah menghabiskan waktu selama beberapa hari disana sebagai relawan bencana gempa bumi, pengalaman yang tidak akan kulupakan dan mungkin hanya sekali seumur hidupku.

Kawasan tempat tinggal akhwat tersebut sangat sederhana, bahkan amat sangat sederhana. Kita akan menemukan begitu banyak rumah-rumah kayu sejenis rumah panggung dimana-mana, memang tidak keseluruhan, ada juga beberapa rumah keluarga lebih mampu berdinding beton berlantai keramik, yang menjadi simbol kemapanan secara ekonomi. Beberapa dari rumah- rumah panggung tersebut memiliki dwifungsi, selain sebagai rumah tinggal, bagian bawah rumah atau kolong digunakan untuk memelihara ternak-ternak kecil, berupa Ayam, Itik, ataupun Kambing, maka akan tercium aroma aneh sebagai pengganti pengharum ruangan. Bisa jadi pendapat masyarakat yang ada adalah “biarlah menahan hidung, asalkan demi ternak penyambung hidup”.

Daratan dipinggiran danau bagaikan lahan pengembangbiakan sampah, dari hari ke hari bukan berkurang justru bertambah, imajinasi konyolku bermain seolah-olah sampah yang satu menemukan pasangan hidupnya dan beranak pinak setiap 24 jam. Permasalahan yang tidak pernah selesai untuk kawasan-kawasan wisata. Padahal uniknya didanau itulah terdapat komunitas hidup bernama Bilih.

Bilih adalah nama ikan yang hidup di danau Singkarak, ukurannya sedikit lebih besar dari ikan teri hanya saja memiliki bentuk badan yang pipih dan lonjong. Tidak begitu jelas mengapa dinamakan Bilih, karena menurut bahasa minangkabau Bilih sendiri berarti iblis atau setan. Ikan bilih ini tidak dapat hidup selain di danau Singkarak yang merupakan habitatnya, kalaupun keberadaannya ditemukan di sungai-sungai kecil sekitarnya itu merupakan terusan dari danau. Bahkan salah seorang penduduk bercerita pernah suatu kali ilmuwan Amerika berkunjung dan membawa bibit Bilih ini ke negaranya untuk dikembangkan, namun hasilnya nihil, meski menggunakan teknologi dan peralatan canggih jenis apapun ikan Bilih tetap tak bisa hidup. Aku jadi mengambil kesimpulan mungkin karena keterikatan yang terlalu posesif dengan danau inilah maka dinamakan Bilih.

Selebihnya aku lebih banyak memperhatikan kehidupan keluarga nelayan dan pegunungan disekitar danau, sudut indah dalam pengambilan fragmen alam desa ini. Hingga waktu menjelang maghrib baru aku kembali kerumah panggung, setelah berbuka dan sholat maghrib keluarga akhwat temanku itu menghidangkan lauk Ikan Bilih plus sambal goreng, tidak disangka setelah seharian berkenalan dengan ikan tersebut ternyata malam ini aku justru bisa menikmatinya langsung. Hingga keesokan harinya aku kembali ke Padang tidak ada lagi rasa penasaran dengan ikan tersebut, karena memang sekarang dia telah bersemayam di tempat paling aman sedunia yaitu di dalam perut.

-kisah perjalanan yang selalu tertunda untuk diposting-

Tidak ada komentar: